JAKARTA: Kelompok usaha kecil dan menengah (UKM) masih sulit menerima konsep hak atas kekayaan intelektual (HaKI), yang mengutamakan hak individu.
“Budaya kita masih budaya komunal. Mereka [kelompok UKM terutama di daerah] masih berpikiran bahwa HaKI adalah milik bersama. Ini bertentangan dengan konsep HaKI yaitu private right,” kata Ansori Sinungan, Direktur Kerjasama Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan HAM.
Dia menyatakan tidak mudah mengubah budaya seperti itu karena sudah menjadi kebiasaan. “Ada pengusaha UKM yang sudah sukses dan memiliki merek sendiri, tetapi mereka tetap tidak mau mendaftarkan merek dagangnya.” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.
Ditjen HKI, katanya, sudah menganjurkan kepada pengusaha UKM supaya mendaftarkan merek dagangnya, tetapi mereka tetap tidak mau.
“Jawaban mereka adalah kita sama-sama cari makan, biarlah mereka menggunakan merek yang sama,” kata Ansori, mengutip jawaban seorang pengusaha UKM.
Potensi HaKI Indonesia, ujarnya, ada di UKM. “Indonesia punya banyak UKM yang tersebar di berbagai wilayah. Mereka baru mulai sadar apa bila sudah timbul sengketa memperebutkan sebuah merek dagang atau desain industri.”
Dia mengakui bahwa sosialisasi kepada masyarakat soal HaKI masih kurang. “Ini tanggung jawab kita semua, tidak saja Ditjen HKI, tapi juga instansi terkait.”
Ditjen HKI, katanya, lebih bersifat administrasi dengan menerima pendaftaran. “Peranan Departemen Perdagangan, Perindustrian, dan Koperasi justru sangat penting dalam mendorong UKM melek HaKI.”
Ansori tidak setuju adanya anggapan biaya pendaftaran HaKI merupakan salah satu faktor yang memberatkan UKM untuk mendaftakan merek dagang atau desain industrinya.
“Pemerintah sudah memberikan diskon hingga 50% untuk biaya pendaftaran merek, toh mereka [UKM] tetap saja tak mau mendaftar HaKI-nya. Biaya pendaftaran merek cuma Rp450.000, kalau didiskon 50% kan tinggal Rp225.000,” tambahnya.
Oleh Suwantin Oemar
Bisnis Indonesia