JAKARTA: Menteri Perindustrian Fahmi Idris akhirnya memastikan untuk mengoreksi kembali target pertumbuhan industri menjadi hanya 5% – 5,5% dari target sebelumnya sebesar 6%.
Koreksi target pertumbuhan kali ini merupakan yang kedua kalinya setelah pada April Departemen Perindustrian memangkas dari 7,4% menjadi 6%.
“Dengan harga yang terbentuk, secara nasional pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi. Sektor-sektor tertentu terkena dampak gejolak harga minyak, pangan, dan moneter. Semua subsektor otomatis juga menetapkan angka-angka pertumbuhan [yang direvisi],” katanya kepada pers, kemarin.
Menurut Fahmi, berbagai masalah seperti semakin dampak resesi ekonomi global terhadap perekonomian nasional serta tekanan harga minyak dunia yang telah menembus US$126 per barel telah mendongkrak biaya produksi di sektor manufaktur.
Tekanan hebat dari lingkup eksternal itu kian mengimpit sehingga menyebabkan kinerja produksi berpotensi terus menurun yang pada akhirnya memicu sebagian perusahaan melakukan efisiensi besar-besaran dengan pemangkasan jam kerja dan karyawan.
Apalagi, kondisi itu diperparah dengan terjadinya penurunan daya beli masyarakat yang terus berlangsung menyusul rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi hingga 30% yang kembali memicu gejolak inflasi dan ancaman kenaikan suku bunga BI Rate menjadi dua digit.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Depperin Dedy Mulyadi mengatakan pihaknya tengah mengkaji strategi dan arah pengembangan industri untuk disesuaikan dengan revisi target pertumbuhan industri pada 2008.
Dalam kalkulasi sementara, katanya, sejumlah sektor manufaktur akan menghadapi dampak paling serius atas kenaikan harga BBM bersubsidi dalam 3 bulan mendatang, seperti sektor makanan dan minuman, tekstil, sepatu, kimia (plastik). “Jika sektor consumer goods menurun, industri permesinan pasti juga akan terkena dampak lanjutannya,” katanya.
Industri dasar
Selain itu, tekanan juga akan dirasakan pada sejumlah sektor industri manufaktur dasar (basic manufacture) seperti semen dan produk hilir baja a.l. seng, pipa, kawat dan paku, hingga kelompok baja lembaran (cold rolled coils). Konsumsi semen pada 2008 diprediksi merosot 5%-7%, akibat pelemahan daya beli.
Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Urip Timuryono menjelaskan saat harga BBM naik, masyarakat akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan pangan yang merupakan komoditas primer. “Makanya dari awal kami tidak menargetkan pertumbuhan yang tinggi karena tekanan ekonomi yang begitu berat,” papar Urip.
Kebijakan Bank Indonesia mengerek tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 8,25% juga akan mengganggu penjualan semen nasional. Naiknya suku bunga berpotensi mendorong orang untuk manarik investasinya dari properti ke deposito. Selama ini properti merupakan salah satu motor penggerak konsumsi semen.
Tekanan atas melambungnya harga energi, lanjutnya, akan mulai terasa saat memasuki kuartal II hingga akhir tahun. (Hery Lazuardi)
Oleh Yusuf Waluyo Jati
Bisnis Indonesia